Minggu, 10 Oktober 2010

Mengapa Takut dengan Jenggot ??

Dalil Dalil yang MEWAJIBKAN Untuk memanjangkan jenggot
Pada Diri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Ada Suri Tauladan Yang Baik

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab : 21)

Dan Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :
“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS. Al Hasyr : 7)
Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu

Kajian rutin Ahlus Sunnah di Banyumas, (23/07/2011)


.: :.
Assalamu 'alaikum warahmatullah..


Insya Allah,

Ahad ke I disetiap bulan (Jam 10.00 s/d Ashar)
Tempat Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas
Pemateri: Ustadz Muhammad Afifuddin
Membahas (Tema menyesuaikan/ada pemberitahuan selanjutnya)

Setiap Selasa, Ba'da Maghrib s/d Isya
Tempat Masjid Al-Faaruq Depan Terminal Lama Purwokerto
Pemateri: Ustadz Saifudin Zuhri Lc
Membahas kitab Riyadhus sholihin


Setiap Rabu (jam 07.30 s/d 08.30)
Tempat Masjid Rumah Sakit Siaga Medika Banyumas
Pengajar: Ustadz Said Akhsan
Membahas Pelajaran bahasa Arab (shorof)



* Rabu, Ba'da Maghrib s/d Isya
Tempat Masjid Al-Furqon Komp.Perumahan Firdaus Estate Sokaraja
Pemateri: Ustadz Saifuddin Zuhri Lc
Membahas tafsir Q.S Al Hujurot

Setiap Kamis, Ba'da Maghrib s/d Isya
Tempat Masjid Al-Amin Sebelah Kantor Samsat,Karang Pucung Purwokerto
Pemateri: Ustadz Saifuddin Zuhri Lc
Membahas kitab Riyadhus sholihin

Setiap Jum'at, (jam 09.30 s/d selesai)

Tempat Masjid Rumah Sakit Siaga Medika Banyumas
Pemateri: Ustadz Saifuddin Zuhri Lc, Ustadz Rijal Lc, Ustadz Tsanin Hasanudin (rollin)
Membahas (pemberitahuan selanjutnya)

* Jumat (Ba'da Ashr s/d selesai)

Tempat Masjid Rumah Sakit Siaga Medika Banyumas
Pengajar: Ustadz Arif
Membahas Kitab Aqidah Washitiyah



Setiap Sabtu, Ba'da Ashr (jam 15.30 s/d 16.30)
Tempat Masjid Rumah Sakit Siaga Medika Banyumas
Pemateri: Ustadz Ahmad Yuswaji
Membahas Tafsir As Sa'adi

Setiap Sabtu di Ahad ke II per Bulan (jam 09.30 s/d Selesai)
Tempat Masjid Agung Baitussalam Alun-alun Purwokerto
Pemateri Ustadz Muhammad Umar As Sewed & Ustadz Saifuddin Zuhri Lc)
Membahas  Kitab Fathul Majid (Mendakwahkan Laa ilaaha illallooh) & Syarh Syurutush Sholat,

Senin, Rabu, Jumat (Jam 07.30 s/d 08.15)
Tempat Masjid Rumah Sakit Umum Siaga Medika Banyumas
Pengajar: Ustadz Muhammad Ridwan
Membahas Kitab Al Qowa'idul Al Arba' & Al Ushulu atstsalatsah

Rabu, Kamis, Ba'da Maghrib s/d Isya
Tempat Masjid Rumah Sakit Umum Siaga Medika Banyumas
Pengajar: Ustadz Sirojuddin Abbas
Membahas Kitab Pedoman Dauroh Tajwid

Sabtu, Ahad, Ba'da Isya s/d Selesai
Tempat Masjid Rumah Sakit Umum Siaga Medika Banyumas
Pengajar: Ustadz Qomaruddin
Membahas Kitab Pelajaran Tata Cara Pengurusan Jenazah

Selasa, Kamis, Sabtu ( 12.30 s/d 13.15)
Tempat Masjid Rumah Sakit Siaga Medika Banyumas
Pengajar: Ustadz Muhammad Ridwan
Membahas Kitab Attufatus saniyyah


Sabtu ( Ba'da Magrib s/d selesai)
Tempat Masjid Rumah Sakit Siaga Medika Banyumas
Pengajar: Ustadz Muhammad Ridwan
Membahas Kitab Durushul Lughoh 1

update terakhir tgl 10.10.2012


Sabtu, 09 Oktober 2010

NASEHAT DAN RENUNGAN UNTUK SEGENAP SALAFIYYIN DI INDONESIA

Pernyataan Terkini dari Asatidz tentang Ja'far Umar Thalib(28/02/2010) + Baru !! + Link Download
Dikirim oleh pengelola, Kamis 04 Maret 2010, kategori Fatwa-Fatwa
Penulis: Redaksi Salafy.or.id
.: :.
Segala puji hanya milik Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya dan siapa saja yang berloyalitas kepadanya. Amma ba'du:

Sesungguhnya dakwah Salafiyyah adalah dakwah yang berkah. Dan di antara nikmat Allah yang besar kepada kita adalah pemberian Allah kepada kita berupa taufiq-Nya untuk menelusuri jalan dakwah ini, hingga kita berjalan di atasnya, di atas manhajnya. Dakwah ini telah mendapatkan

Nasihat untuk para perokok

Nasihat untuk Para Perokok

Rokok memang belum dikenal pada masa Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya. Karenanya, rokok dan merokok (dalam bahasa arabnya: syajair, dukhan, atau tadkhin as-sajair) hukumnya secara eksplisit tidak didapatkan dalam nash Al-Qur'an dan As-Sunnah. Namun, apakah kemudian Islam tidak boleh menyikapi fenomena rokok dan semacamnya ini?.

Nash-nash Kitabullah dan As-Sunnah terdiri dari dua jenis. Pertama, yang dalil-dalilnya jelas diarahkan kepada sesuatu itu sendiri secara langsung. Misalnya ayat “(Artinya:), Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah.” (Al-Maidah : 3).

Kedua, jenis yang dalil-dalilnya bersifat umum seperti Adh-Dhawabith (ketentuan-ketentuan) dan kaidah-kaidah yang mencakup rincian-rincian yang banyak sekali hingga Hari Kiamat.

Jadi, baik nash-nash tersebut termasuk ke dalam jenis pertama atau jenis kedua, ia bersifat keniscayaan (keharusan) bagi semua hamba Allah karena dari sisi pendalilan mengindikasikan hal itu.

Ahli Waris Hasan Al-Banna

Penulis : Al-Ustadz Qomar ZA, Lc.
Hari, 04 Januari 2006 - 18:26:59,

Umar At-Tilmisani
Dia adalah pimpinan umum ketiga dari gerakan Ikhwanul Muslimin, setelah Hasan Al-Banna. Ia telah membuka lebar-lebar pintu menuju kepada kesyirikan dengan mengatakan:
“Sebagian mereka mengatakan, bahwa Rasul n memintakan ampun untuk orang-orang, bila mereka mendatangi beliau n ketika masih hidup saja. Sementara bagi saya, tidak jelas mengapa dikaitkannya ayat1 dengan permintaan ampun tersebut saat Rasul n hidup saja. Sementara (menurut saya) dalam ayat tersebut tidak ada pembatasan semacam itu… Oleh karenanya saya mendapati diri saya cenderung untuk mengambil pendapat yang mengatakan bahwa Rasul n memintakan ampun untuk siapa saja yang datang kepada beliau, menuju ke hadapannya baik semasa hidup beliau atau setelah kematiannya. Sehingga, tidak ada alasan untuk bersikap keras dalam mengingkari orang yang meyakini karamah para wali, berlindung kepada mereka di kubur mereka yang suci, dan berdoa kepadanya saat kesempitan. Dan karamah para wali adalah termasuk dalil-dalil atas mukjizat para Nabi.” (Buku Syahidul Mihrab, karya Umar At-Tilmisani, hal. 225-226)
Anda lihat bagaimana ia membuka peluang untuk mereka yang ingin berdoa kepada Nabi n (bukan mendoakan Nabi). Lebih parah dari itu, bahkan yang berdoa kepada para wali atau bertawassul dengan kubur mereka. Sementara pembaca tentu tahu bahwa berdoa adalah ibadah besar yang tidak pantas diperuntukkan kecuali hanya untuk Allah.

SIAPAKAH AHLUS SUNNAH?

Penulis : Al Ustadz Abu Usamah bin Rawiyah An Nawawi
Selasa, 27 Mei 2003 - 18:45:21,

Istilah Ahlus Sunnah tentu tidak asing bagi kaum muslimin. Bahkan mereka semua mengaku sebagai Ahlus Sunnah. Tapi siapakah Ahlus Sunnah itu? Dan siapa pula kelompok yang disebut Rasulullah sebagai orang-orang asing?

Telah menjadi ciri perjuangan iblis dan tentara-tentaranya yaitu terus berupaya mengelabui manusia. Yang batil bisa menjadi hak dan sebaliknya, yang hak bisa menjadi batil. Sehingga ahli kebenaran bisa menjadi pelaku maksiat yang harus dimusuhi dan diisolir. Dan sebaliknya, pelaku kemaksiatan bisa menjadi pemilik kebenaran yang harus dibela. Syi’ar pemecah belah ini merupakan ciri khas mereka dan mengganggu perjalanan manusia menuju Allah merupakan tujuan tertinggi mereka.

Tidak ada satupun pintu kecuali akan dilalui iblis dan tentaranya. Dan tidak ada satupun amalan kecuali

Fatwa-Fatwa Ulama Besar Tentang Ikhwanul Muslimin

Penulis : Al-Ustadz Qomar ZA, Lc.
Jum'at, 06 Januari 2006 - 08:14:46,

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz t
Beliau ditanya: “Semoga Allah memberikan kebaikan kepadamu. Hadits Nabi n dalam hal perpecahan umat: ‘…Akan berpecah umatku menjadi 73 golongan. Semua di neraka kecuali satu… dan seterusnya.’ Apakah Jamaah Tabligh dengan kesyirikan dan bid’ah yang mereka miliki, juga jamaah Ikhwanul Muslimin dengan kekelompokan mereka dan ketidaktaatan kepada penguasa… Apakah dua kelompok ini masuk ke dalam kelompok-kelompok yang binasa?”
Jawab: “Masuk ke dalam kelompok yang 72 (tujuhpuluh dua). Dan siapa saja yang menyelisihi aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah maka masuk yang 72 kelompok. Yang dimaksud dengan kata ‘umatku’ adalah umat ijabah, yakni umat yang menyambut seruan Allah k dan menampakkan diri bahwa mereka mengikuti Nabi n. Mereka ada 73 golongan. Yang selamat adalah yang mengikuti beliau n dan istiqamah di atas agamanya. Sedangkan yang 72 golongan, di antara mereka ada yang kafir, ada yang ahli maksiat, ada yang ahli bid’ah, bermacam-macam.”

silence yoko: Berhiaslah dengan rasa malu

silence yoko: Berhiaslah dengan rasa malu

Berhiaslah dengan rasa malu

Ingar-bingar kehidupan remaja kita yang tercermin dari tata pergaulannya sudah sampai pada taraf yang sangat memprihatinkan. Rasa malu seakan memunah sementara ‘keberanian’ merambati perilaku mereka. Di sudut sebuah sekolah, seorang gadis kecil berseragam sekolah melenggang, diiringi langkahnya dengan sejumlah teman laki-lakinya. Tak canggung dia melempar senyum, tertawa, dan bercanda dengan mereka. Di dalam kelas, suatu yang lazim murid laki-laki duduk bersama dan berdiskusi dengan murid perempuan. Justru suatu pemandangan yang ‘aneh’ bila ada seorang murid yang merasa malu melakukan semua itu. Gelaran ‘kuper’, ‘kutu buku’, ‘sok alim’, ‘anak kampungan’, atau yang lainnya bakal segera menghampirinya. Belum lagi di tempat lainnya yang lazim dikunjungi anak-anak ‘baru gede’ seusai sekolah atau di waktu senggang mereka. Dengan sedikit memoles bibir dengan lipstik, disertai busana yang sedikit ‘berani’, mereka pun menjelajahi mal-mal. Entah benar-benar untuk berbelanja atau sekedar nampang. Tak sedikit pun rasa canggung menghampiri hati mereka. Allahul musta’an … Hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sajalah kita mengadukan segala kepahitan ini. Di kala rasa malu dalam jiwa anak-anak sudah terkikis. Mereka tak sungkan lagi melakukan segala sesuatu yang dianggap aib oleh syariat. Benarlah apa yang pernah dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disampaikan pada kita oleh Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu 'anhu: إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ اْلأُوْلَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ “Sesungguhnya di antara apa yang didapati manusia dari ucapan nabi-nabi yang terdahulu adalah ‘Apabila engkau tidak malu, maka lakukan apa pun yang engkau mau’.” (HR. Al-Bukhari no. 6120) Al-Imam Al-Khaththabi rahimahullahu mengatakan –sebagaimana dinukil oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu–, “Yang dapat mencegah seseorang terjatuh dalam kejelekan adalah rasa malu.Sehingga bila dia tinggalkan rasa malu itu, seolah-olah dia diperintah secara tabiat untuk melakukan segala macam kejelekan.” (Fathul Bari, 10/643) Sebenarnya apa malu itu? Para ulama menjelaskan, malu hakikatnya adalah akhlak yang dapat membawa seseorang untuk meninggalkan perbuatan tercela dan mencegahnya dari mengurangi hak yang lainnya. Demikian dikatakan oleh Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu dalam kitab beliau Riyadhush Shalihin, Kitabul Adab Bab Al-Haya` wa Fadhluhu wal Hatstsu ‘alat Takhalluqi bihi. Malu yang ada pada diri manusia ada dua macam: Pertama, malu yang berasal dari tabiat dasar seseorang. Ada sebagian orang yang Allah Subhanahu wa Ta'ala anugerahi sifat malu, sehingga kita dapati orang itu pemalu sejak kecil. Tidak berbicara kecuali pada sesuatu yang penting, dan tidak melakukan suatu perbuatan kecuali ketika ada kepentingan, karena dia pemalu. Kedua, malu yang diupayakan dari latihan, bukan pembawaan. Artinya, seseorang tadinya bukan seorang pemalu. Dia cakap dalam berbicara dan tangkas berbuat apa pun. Lalu dia bergaul dengan orang-orang yang memiliki sifat malu dan baik sehingga dia memperoleh sifat itu dari mereka. Malu yang bersifat pembawaan itu lebih utama daripada yang kedua ini. (Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah, Ibnu ‘Utsaimin, hal. 234) Al-Hafizh rahimahullahu menukilkan dari Ar-Raghib bahwa malu adalah menahan diri dari perbuatan jelek. Dan ini merupakan kekhususan yang dimiliki manusia agar dia dapat berhenti dari berbuat apa saja yang dia inginkan, sehingga dia tidak akan seperti hewan. (Fathul Bari, 1/102) Sifat malu ini mendapatkan pujian dalam syariat Islam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan demikian dalam sabdanya yang disampaikan oleh ‘Imran bin Hushain radhiyallahu 'anhu: الْحَيَاءُ لاَ يَأْتِي إِلاَّ بِخَيْرٍ “Malu itu tidaklah datang kecuali dengan membawa kebaikan.” (HR. Al-Bukhari no. 6117 dan Muslim no. 37) Bahkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seorang sahabat yang mencela temannya karena rasa malu yang dimilikinya. Dikisahkan oleh Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu 'anhuma: مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى رَجُلٍ وَهُوَ يُعَاتِبُ أَخَاهُ فِي الْحَيَاءِ يَقُوْلُ: إِنَّكَ لَتَسْتَحْيِي – حَتَّى يَقُوْلَ: قَدْ أَضَرَّ بِكَ – فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: دَعْهُ، فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ اْلإِيْمَانِ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjumpai seseorang yang sedang mencela saudaranya karena malu. Dia mengatakan, “Kamu ini merasa malu,” sampai dia katakan, “Rasa malu itu telah memudaratkanmu!” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, “Biarkan dia, karena malu itu termasuk keimanan.” (HR. Al-Bukhari no. 6118 dan Muslim no. 36) Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu pernah pula mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: اْلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ اْلإِيْمَانِ “Iman itu ada tujuh puluh sekian1 cabang. Cabang yang paling utama adalah ucapan ‘tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah’, yang paling rendah menghilangkan gangguan dari jalan, dan malu itu salah satu cabang keimanan.” (HR. Al-Bukhari no. 48 dan Muslim no. 35) Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullahu dan ulama yang lain menjelaskan, “Sesungguhnya malu termasuk keimanan walaupun malu itu berupa sifat pembawaan. Karena, malu itu terkadang merupakan akhlak yang disandang atau hasil usaha seseorang seperti halnya amalan kebaikan lainnya, dan terkadang pula merupakan sifat pembawaan. Namun pelaksanaannya di atas aturan syariat membutuhkan upaya, niat, dan ilmu. Dengan ini, malu termasuk keimanan. Juga karena malu dapat mendorong seseorang untuk melakukan kebaikan dan mencegahnya dari kemaksiatan.” (Syarh Shahih Muslim, 2/4) Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu 'anhuma pernah mengatakan: إِنَّ الْحَيَاءَ وَاْلإِيْمَانَ قُرِنَا جَمِيْعًا، فَإِنْ رُفِعَ أَحَدُهُمَا رُفِعَ اْلآخَرُ “Malu dan iman itu senantiasa ada bersama-sama. Bila hilang salah satu dari keduanya, hilang pula yang lainnya.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 1313, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabil Mufrad: shahih) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri adalah seorang yang memiliki sifat sangat pemalu. Digambarkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu 'anhu sifat malu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشَدَّ حَيَاءً مِنَ العَذْرَاءِ فِي خِدْرِهَا، فَإِذَا رَأَى شَيْئًا يَكْرَهُهُ عَرَفْنَاهُ فِي وَجْهِهِ “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih pemalu daripada seorang gadis dalam pingitannya. Bila beliau tidak menyukai sesuatu, kami bisa mengetahuinya pada wajah beliau.” (HR. Al-Bukhari no. 6119 dan Muslim no. 2320) ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu 'anhu adalah seorang sahabat yang terkenal memiliki sifat pemalu, hingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun malu kepadanya. Dikisahkan oleh Aisyah radhiyallahu 'anha: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُضْطَجِعًا فِي بَيْتِي كَاشِفًا عَنْ فَخِذَيْهِ أَوْ سَاقَيْهِ، فَاسْتَأْذَنَ أَبُوْ بَكْرٍ فَأَذِنَ لَهُ وَهُوَ عَلَى تِلْكَ الْحَالِ، فَتَحَدَّثَ. ثُمَّ اسْتَأْذَنَ عُمَرُ فَأَذِنَ لَهُ وَهُوَ كَذَلِكَ، فَتَحَدَّثَ. ثُمَّ اسْتَأْذَنَ عُثْمَانُ، فَجَلَسَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَوَّى ثِيَابَهُ – قَالَ مُحَمَّدٌ: وَلاَ أَقُوْلُ ذَلِكَ فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ – فَدَخَلَ فَتَحَدَّثَ. فَلَمَّا خَرَجَ قَالَتْ عَائِشَةُ: دَخَلَ أَبُوْ بَكْرٍ فَلَمْ تَهْتَشَّ لَهُ وَلَمْ تُبَالِهِ، ثُمَّ دَخَلَ عُمَرُ فَلَمْ تَهْتَشَّ وَلَمْ تُبَالِهِ، ثُمَّ دَخَلَ عُثْمَانُ فَجَلَسْتَ وَسَوَّيْتَ ثِيَابَكَ! فَقَالَ: أَلاَ أَسْتَحِي مِنْ رَجُلٍ تَسْتَحِي مِنْهُ الْمَلاَئِكَةُ؟ “Suatu ketika, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berbaring di rumahku dalam keadaan tersingkap dua paha atau dua betis beliau. Kemudian Abu Bakr meminta izin menemui beliau. Beliau mengizinkannya masuk, sementara beliau masih dalam keadaannya. Lalu Abu Bakr bercakap-cakap dengan beliau. Kemudian ‘Umar datang meminta izin untuk masuk. Beliau mengizinkannya masuk, sementara beliau tetap demikian keadaannya. Mereka pun berbincang-bincang. Kemudian ‘Utsman datang minta izin untuk menemui beliau. Beliau pun langsung duduk dan membenahi pakaiannya –Muhammad2 berkata: Aku tidak mengatakan bahwa hal ini terjadi dalam satu hari– ‘Utsman pun masuk dan berbincang-bincang. Ketika ‘Utsman pulang, Aisyah bertanya, “Abu Bakr masuk menemuimu, namun engkau tidak bersiap menyambut dan tidak memedulikannya. Begitu pula ‘Umar masuk menemuimu, engkau juga tidak bersiap menyambut dan tidak memedulikannya pula. Kemudian ketika ‘Utsman masuk, engkau segera duduk dan membenahi pakaianmu!” Rasulullah menjawab, “Tidakkah aku merasa malu kepada seseorang yang malaikat pun merasa malu kepadanya?” (HR. Muslim no. 2401) Dalam riwayat yang lainnya dari ‘Aisyah dan ‘Utsman radhiyallahu 'anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: إِنَّ عُثْمَانَ رَجُلٌ حَيِيٌّ، وَإِنِّي خَشِيْتُ إِنْ أَذِنْتُ لَهُ عَلَى تِلْكَ الْحَالِ أَنْ لاَ يَبْلُغَ إِلَيَّ فِي حَاجَتِهِ “Sesungguhnya ‘Utsman itu orang yang pemalu. Aku khawatir, jika aku mengizinkan dia masuk dalam keadaan seperti tadi, dia tidak akan bisa menyampaikan keperluannya kepadaku.” (HR. Muslim no. 2402) Ini menunjukkan bahwa malu adalah sifat yang terpuji dan termasuk sifat yang dimiliki oleh para malaikat. (Syarh Shahih Muslim, 15/168) Tetapi, ke mana perginya rasa malu yang dipuji oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya itu dari jiwa sebagian kaum muslimin sekarang ini? Anak-anak kita tidak lagi merasa malu menonton tayangan yang tidak layak dilihat. Anak-anak gadis kita sekarang tidak lagi merasa malu bertemu dengan laki-laki yang tak seharusnya ditemui. Begitu pula anak laki-laki kita, tidak merasa malu pergi bermain dengan memakai celana pendek. Dia justru merasa malu bila harus berlatih memakai celana yang menutupi auratnya, karena akan berbeda dengan teman-teman sepermainannya. Anak-anak merasa malu jika tak mengenal mode atau tren terkini. Atau, justru orangtualah yang merasa malu jika anak-anaknya harus menghabiskan waktu untuk menghafal Al-Qur’an atau menempuh pendidikan agama. Tidak ada sederet gelar yang akan melekat di depan nama bila hanya belajar agama, begitu yang ada dalam pikiran. Mereka pun akan malu jika anak mereka ‘kuper’ karena tidak mau bergaul dengan lawan jenisnya. Allahul musta’an …. Keadaan telah berbalik. Malu merupakan sifat yang terpuji, kecuali bila justru mencegah pemiliknya dari melaksanakan kewajiban atau menjatuhkannya pada keharaman. (Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah, hal. 234) Jika rasa malu pada diri seseorang menghalanginya melakukan kebaikan atau mendorongnya berbuat kemaksiatan, atau menghalanginya untuk menyampaikan kebenaran kepada seseorang yang dia hormati atau dia cintai, maka pada hakikatnya ini bukanlah malu, melainkan sikap lemah. Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullahu ketika menjelaskan hadits ‘Imran bin Hushain radhiyallahu 'anhu tentang malu, mengatakan bahwa malu yang dipuji dalam ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah akhlak yang bisa mendorong seseorang melakukan kebaikan dan meninggalkan kejelekan. Sedangkan rasa lemah yang menyebabkan seseorang mengurangi hak Allah Subhanahu wa Ta’ala ataupun hak hamba-Nya bukan termasuk malu. Tetapi ini adalah kelemahan, ketidakmampuan, dan kehinaan. (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1/502) Di antara perkara yang tidak pantas malu padanya adalah menuntut ilmu. Demikian yang ada dalam kehidupan para sahabat radhiyallahu 'anhum. Jadi, belajar agama yang benar tidak boleh dipandang sebagai sesuatu yang ‘tidak bergengsi’ sehingga orang harus malu melakukannya. Tidak layak pula malu bertanya tentang sesuatu hal yang penting untuk diamalkan dalam agama ini, walaupun nampaknya hal itu adalah sesuatu yang ‘tabu’. Seperti Ummu Sulaim radhiyallahu 'anha yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang mandi janabah bagi wanita yang ihtilam. Ummu Sulaim memulai pertanyaannya dengan ucapan yang begitu bermakna: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ اللهَ لاَ يَسْتَحِي مِنَ الْحَقِّ ... “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidaklah malu pada perkara yang benar…” (HR. Al-Bukhari no. 6121) Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu 'anhuma pernah merasa malu dalam suatu majelis ilmu, ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melontarkan pertanyaan kepada para sahabat yang ada di majelis itu. Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu 'anhuma ingin memberikan jawaban, namun rasa malu begitu menguasainya. Ketika mengetahui hal itu, ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu 'anhu pun mencela perbuatan putranya. Berikut kisahnya: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَثَلُ الْمُؤْمِنِ كَمَثَلِ شَجَرَةٍ خَضْرَاءَ لاَ يَسْقُطُ وَرَقُهَا وَلاَ يَتَحَاتُّ. فَقَالَ الْقَوْمُ: هِيَ شَجَرَةُ كَذَا، هِيَ شَجَرَةُ كَذَا، فَأَرَدْتُ أَنْ أَقُوْلَ هِيَ النَّخْلَةُ وَأَنَا غُلاَمٌ شَابٌّ فَاسْتَحْيَيْتُ، فَقَالَ: هِيَ النَّخْلَةُ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Perumpamaan seorang mukmin itu seperti sebuah pohon yang hijau yang tak pernah berguguran daunnya.” Para sahabat pun menjawab, “Itu adalah pohon ini, pohon itu.” Aku ingin mengatakan bahwa itu adalah pohon kurma, sementara aku ini anak kecil sehingga aku pun merasa malu. Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Itu pohon kurma.” Di dalam riwayat yang lain ada tambahan: فَحَدَّثْتُ بِهِ عُمَرَ فَقَالَ: لَوْ كُنْتَ قُلْتَهَا لَكَانَ أَحَبَّ إِلَيَّ مِنْ كَذَا وَكَذَا Kuceritakan kejadian itu kepada ayahku, ‘Umar, maka dia berkata, “Seandainya engkau tadi menjawab, itu lebih kusukai daripada memiliki ini dan itu.” (HR. Al-Bukhari no. 6122) Betapa jauh keadaan kita dengan para sahabat. Mereka berhias dengan rasa malu yang hakiki, yang dapat menahan diri mereka dari kehinaan. Mereka buang jauh-jauh sifat lemah yang menyebabkan seseorang segan melakukan kebaikan. Mulai sekarang mestinya, kita berbenah diri dan membenahi anak-anak kita agar memiliki rasa malu. Rasa malu itu akan menuntun kita dan anak-anak kita menuju kebaikan sehingga kelak akan sampai di surga. Benarlah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dinukilkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu: الْحَيَاءُ مِنَ اْلإِيْمَانِ وَاْلإِيْمَانُ فِي الْجَنَّةِ، وَالْبَذَاءُ مِنَ الْجَفَاءِ وَالجَفَاءُ فِي النَّارِ “Malu itu termasuk keimanan, dan keimanan itu tempatnya di surga, sementara kekejian3 itu termasuk kekerasan4, dan kekerasan itu tempatnya di neraka.” (HR. At-Tirmidzi no. 2009, dishahihkan Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi) Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab. 1 Al-bidh’u adalah hitungan antara tiga sampai sembilan. 2 Salah seorang perawi hadits ini. 3 Al-badza` adalah lawan dari malu, yang muncul darinya perkataan keji dan akhlak yang buruk. 4 Al-jafa` adalah lawan dari kebaikan. Pelakunya adalah orang-orang yang tidak menunaikan hak, bertabiat kasar dan berhati keras.

Jumat, 08 Oktober 2010

SURAT TERBUKA : DARI UMMU ‘ABDILLAH AL-WADI’IYYAH

Penulis: Diterjemahkan oleh Ummu Ishaq Zulfa Husein
Sakinah, Mutiara Kata, 29 - April - 2003, 01:48:57



Sepucuk surat terlayang dari negeri Yaman, dari seorang ‘alimah muhadditsah yang dikenal dengan nama Ummu ‘Abdillah al-Wadi’iyyah. Putri seorang muhaddits zaman ini, asy-Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i, sebagai lecutan semangat bagi para muslimah di Indonesia untuk menuntut ilmu syar’i.

Dari Ummu ‘Abdillah al-Wadi’iyah,
untuk saudaraku di jalan Allah Ummu Ishaq Al Atsariyah

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Setelah memuji Allah Subhanahu wata’ala, aku kabarkan padamu, wahai Ummu Ishaq, bahwa telah sampai padaku dua pucuk surat darimu, semoga Allah menjagamu dan aku doakan semoga Allah mencintaimu, yang Dia telah menjadikanmu cinta kepadaku karena-Nya.

Adapun mengenai permintaanmu agar aku menulis risalah kepada akhwat salafiyat di Indonesia, aku jawab bahwa aku telah menulis kitab Nashihati lin-Nisaa (Nasihatku untuk Wanita) yang sekarang sedang dicetak. Bila kitab itu telah terbit, Insya Allah akan kami kirimkan kepadamu, semoga Allah memudahkannya.

Adapun nasihatku dalam thalabul ‘ilmi (menuntut ilmu agama) bagi wanita, maka aku katakan: Hendaklah wanita memulai dari perkara yang Allah wajibkan atasnya, seperti mulai dengan belajar ilmu tauhid yang merupakan pokok agama ini, karena Allah tidak akan menerima amalan apa pun dari seorang hamba jika ia tidak mentauhidkan-Nya dalam ibadah tersebut. Sebagaimana Allah berfirman dalam hadits qudsi :
“Aku paling tidak butuh kepada sekutu-sekutu dari perbuatan syirik. Siapa yang mengerjakan suatu amalan yang dalam amalan tersebut dia menyekutukan Aku dengan yang lain maka aku tinggalkan dia dan sekutunya.”

Juga mempelajari thaharah, cara bersuci dari haid, nifas dan setiap yang keluar dari dua jalan (qubul dan dubur/kemaluan depan dan belakang), dan mempelajari tata cara shalat, syarat-syarat dan kewajiban-kewajibannya.

Demikian pula mempelajari tata cara haji jika ia ingin menunaikan ibadah ini, dan seterusnya…
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda: “Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim.”

Setelah itu, jika wanita tersebut termasuk orang-orang yang berkesinambungan dalam menuntut ilmu, maka hendaklah ia menghafal al-Qur’an bila memang itu mudah baginya dan juga menghafal hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam, tentunya disertai pemahaman dengan memohon pertolongan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Kemudian merujuk kitab tafsir kalau ada masalah yang berkaitan dengan Al Qur’an, seperti Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Ibnu Jarir. Jika masalahnya berkaitan dengan Sunnah, maka merujuklah kepada kitab-kitab syarah dan fiqih seperti Fathul Bari, Syarhun Nawawi li Shahih Muslim, Nailul Authar, Subulus Salam, al-Muhalla oleh Ibnu Hazm.

Dan perkara yang sangat penting dan tak bisa diabaikan dalam hal ini adalah doa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala karena doa termasuk sebab yang menolong untuk memahami ilmu. Oleh karena itu, hendaknya seorang insan memohon kepada Allah agar menganugerahkan pemahaman kepadanya.

Jika ada para pengajar wanita (guru/ustadzah) yang mengetahui al-Qur’an dan as-Sunnah, maka berguru kepada mereka merupakan perkara yang baik, karena seorang guru akan mengarahkan penuntut ilmu (murid) dan menjelaskan kepadanya kesalahan-kesalahan yang ada. Terkadang seorang penuntut ilmu menyangka sesuatu itu haq (benar), namun dengan perantaraan seorang guru ia bisa mendapatkan penjelasan bahwa hal itu ternyata salah, sedangkan al-haq (kebenaran) itu menyelisihi apa yang ada dalam prasangkanya.

Tidak menjadi masalah bagi seorang wanita untuk belajar pada seorang syaikh, akan tetapi dengan syarat selama aman dari fitnah dan harus di belakang hijab (ada tabir pemisah), karena selamatnya hati tidak bisa ditandingi dengan sesuatu.

Jangan engkau menganggap sulit urusan menuntut ilmu karena Alhamdulillah menuntut ilmu itu mudah bagi siapa yang Allah Subhanahu wa ta’ala mudahkan, sebagaimana firman-Nya:
Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur’an itu untuk pelajaran, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran? (Al-Qamar: 17)

Dan sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam:

Aku diutus dengan membawa agama yang hanif (lurus) dan mudah.

Akan tetapi, ingatlah bahwa ilmu itu memerlukan ketekunan dan kesungguh-sungguhan sebagaimana dikatakan : Berilah kepada ilmu semua yang ada padamu, maka ilmu itu akan memberimu sebagiannya
.
Juga sebagaimana dikatakan oleh seorang penyair :
Wahai saudaraku, engkau tidak akan memperoleh ilmu kecuali dengan enam perkara.
Aku akan beritahukan kepadamu perinciannya.
Kepandaian, ketamakan (dalam mencari ilmu), kesungguhan dan memiliki bekal.
Berteman dengan guru dan masa yang panjang.”

Maksud ucapan sya’ir “bulghah” adalah sesuatu yang bisa dimakan, karena termasuk perkara yang dapat menegakkan badan adalah makanan.

Berhati-hatilah wahai saudariku –semoga Allah menjagamu– dari bersikap taklid (mengikuti tanpa ilmu) dalam masalah-masalah agama, karena sikap taklid itu adalah kebutaan. Padahal Allah subhanahu wa ta’ala telah memberikan akal kepada manusia dan memberi nikmat dengan akal tersebut sehingga manusia unggul dengannya.

Adapun pertanyaanmu “Bagaimana caranya agar seorang wanita bisa menjadi pembahas/peneliti yang kuat (dalam ilmu din)?” Maka jawabnya –semoga Allah menjagamu- : Masalah-masalah ilmu itu beragam dan sungguh Allah Subhanahu wa ta’ala telah mendatangkan untuk agamanya ini orang-orang yang berkhidmat padanya. Maka mereka memberikan setiap macam ilmu itu haknya, sebagai permisalan:

Jika suatu masalah itu berkaitan dengan hadits, maka hendaknya engkau merujuk kepada kitab-kitab takhrij seperti kitab Nashbur Rayah oleh az-Zaila’i, at-Talkhishul Habir oleh Ibnu Hajar al-‘Atsqalani dan kitab-kitabnya Syaikh al-Albani hafidhahullah yang padanya ada takhrij seperti Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah dan Silsilah al-Ahadits ad-Dha’ifah.

Jika masalahnya berkaitan dengan fiqih, maka hendaklah engkau merujuk kepada kitab-kitab yang memang ditulis untuk membahas fiqih, seperti kitab-kitab yang telah aku sebutkan sebelum ini, demikian seterusnya….

Saudariku, semoga Allah menjaga dan memeliharamu…
Sanjunglah Allah ‘Azza wa Jalla karena Dia telah menjadikanmu mengenal bahasa Arab. Aku katakan kepadamu bahwa bahasa Arab saat ini telah banyak mengalami penyimpangan (pembelokan dari bahasa Arab yang fasih) dan telah masuk pada bahasa ini kebengkokan yang memalingkan dari kefasihan. Akan tetapi, masih ada kitab-kitab bahasa Arab yang bisa engkau pelajari dan engkau baca serta engkau pergunakan agar lisan menjadi lurus (fasih dalam berbahasa Arab). Kitab-kitab yang dimaksud adalah kitab-kitab nahwu. Bagi pelajar pemula hendaknya mulai dengan mempelajari kitab Tuhfatus Saniyah, setelah itu kitab Mutammimah al-Ajurumiyah, lalu kitab Qatrun Nada dan Syarhu ibnu ‘Aqil. Dan sepertinya kitab-kitab ini sudah mencukupi bagi penuntut ilmu yang ingin mempelajari ilmu nahwu.

Demikianlah wahai saudariku, jangan lupa untuk menyertakan aku dalam doa kebaikanmu karena doa seseorang untuk saudaranya yang muslim yang jauh dari dirinya itu mustajab (diterima Allah Subhanahu wa ta’ala).

Walhamdulillahi rabbil ‘alamin.

Ditulis oleh saudarimu fillah

Ummu ‘Abdillah al-Wadi’iyah
Sabtu, 20 Ramadlan 1418 H

(Diterjemahkan oleh Ummu Ishaq Zulfa Husein dari surat aslinya)






Silahkan mengcopy dan memperbanyak artikel ini
dengan mencantumkan sumbernya yaitu : www.asysyariah.com

Pemberontakan Lisan

Oleh Redaksi Asy Syariah
Kamis, 23 April 2009 - 12:12:10
Hit: 276



Fadhilatusy Syaikh Dr. Shalih As-Sadlan ditanya: “Wahai syaikh, menurut pemahaman saya, Anda tidak mengkhususkan pemberontakan itu hanya dengan pedang tetapi termasuk juga pemberontakan yang dilakukan dengan lisan?”

Beliau menjawab:
“Ini pertanyaan penting karena sebagian dari saudara-saudara kita telah melakukannya dengan niat baik dalam keadaan meyakini bahwa pemberontakan itu hanya dengan pedang saja. Padahal pada hakekatnya pemberontakan itu tidak hanya dengan pedang dan kekuatan saja, atau penentangan dengan cara-cara yang sudah diketahui secara umum. Tetapi pemberontakan yang dilakukan dengan lisan (ucapan) justru lebih dahsyat dari pemberontakan dengan senjata karena pemberontakan dengan pedang dan kekerasan justru dilahirkan dari pemberontakan dengan lisan.
Maka kita ucapkan kepada mereka saudara-saudara kita yang terbawa oleh emosi yang kami berprasangka baik kepada mereka bahwa mereka berniat baik -Insyaallah Ta’ala- agar mereka menenangkan dirinya. Dan kami katakan kepada mereka: tenang dan sabarlah, karena kekerasan dan kebencian kalian akan membawa dampak yang jelek pada hati. Kemudian hati tersebut akan melahirkan emosi yang tidak kenal kecuali kekerasan dan pemberontakan. Di samping itu juga akan membuka pintu bagi orang-orang yang memiliki kepentingan untuk mengucapkan apa yang dikehendaki oleh hawa nafsunya apakah hak ataupun batil.
Tidak diragukan lagi bahwa memberontak dengan lisan, atau dengan menggunakan pena dan tulisan, dengan penyebaran kaset-kaset, tabligh akbar, maupun ceramah-ceramah umum dengan cara membakar emosi massa, serta tidak dengan cara yang syar’i, maka saya yakin bahwa ini adalah dasar (pemicu) lahirnya pemberontakan dengan senjata.
Saya memperingatkan dari perbuatan seperti ini dengan sekeras-kerasnya peringatan, dan saya katakan kepada mereka: “Kalian harus melihat dan mempertimbangkan apa hasilnya? Dan hendaklah melihat kepada pengalaman orang yang telah melakukan sebelumnya dalam masalah ini!” Hendaklah mereka melihat kepada fitnah-fitnah yang dialami oleh sebagian masyarakat Islam, apakah sebabnya? Apakah langkah pertama sehingga mereka sampai kepada keadaan yang seperti ini. Jika kita telah mengetahui yang demikian maka akan kita ketahui bahwa memberontak dengan ucapan lisan dan menggunakan media massa untuk membangkitkan kebencian, membakar emosi, dan kekerasan akan melahirkan fitnah dalam hati.” (lihat ‘Ulama Su’udiyyah Yu’akkiduna ‘Alal Jama’ah Wa Wujubus Sam’i Wath Tha’ah Li Wulatil Amri, hal. 5-6)

Sumber :
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&i


Diperbolehkan mengkopi artikel dengan menyertakan sumbernya

Perlu Kesabaran

ﺴﻠﺴﻟﺔ ﺍﻫﺪﻯ ﻮ ﺍﻟﻧﻮﺮ


ﺒﺴﻡﺍﷲﺍﻠﺮﺤﻤﻦﺍﻠﺭﺤﯿﻡ


Sabar, sebuah sifat yang sangat terpuji dan mulia. Sifat yang akan melahirkan sifat mulia lainnya, seperti keberanian untuk melawan tantangan hawa nafsu dalam menjalankan titah-titah Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, serta serta meninggalkan segala hal yang dilarang-Nya. Selain itu, sabar juga melahirkan keridhaan yang tinggi dalam menerima segala yang diputuskan dan ditentukan oleh Allah subhanahu wata’ala pada dirinya . Oleh karena karena itu, jelas bahwa sabar adalah sifat yang dicintai dan diridhai Allah subhanahu wata‘ala.
Menurut bahasa, sabar berarti menahan. Menurut istilah syariat, sabar adalah menahan diri terhadap tiga perkara, pertama : menahan diri untuk tetap taat kepada Allah, kedua : menahan diri dari segala keharaman, ketiga : menahan diri dalam menghadapi ketentuan Allah subhanahu wata’ala yang tidak disukai.
Sabar dalam ketaatan kepada Allah adalah dengan cara menahan diri untuk tetap taat kepada-Nya, karena ketaatan bagi seseorang adalah sesuatu yang amat berat. Akan terasa susah baginya untuk melakukannya. Terkadang rasa berat itu datang dari sisi fisik, mungkin karena lemah dan capai. Terkadang pula rasa berat itu muncul dari sisi harta, seperti menunaikan zakat dan haji.”(Syarah Riyadhus Shalihin, 1/84)
Orang yang sabar akan mendapatkan keberhasilan, sebagaimana keberhasilan yang dicapai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para Ulul ‘Azmi lainnya. Allah subhanahu wata’ala berfirman:



“Maka bersabarlah kamu sebagaimana bersabarnya orang-orang yang memiliki keteguhan dari kalangan para rasul.” (QS Al A’raf : 35)

Tak hanya itu, dia pun akan mendapat balasan yang jauh lebih baik daripada amalan yang telah ia lakukan, sebagaimana Allah janjikan :



“Dan benar-benar Kami akan memberikan balasan pada orang-orang yang bersabar dengan balasan yang lebih baik daripada apa yang telah mereka lakukan.” (QS An Nahl : 96)
Selain dari Kitabullah, dalam sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terdapat pula hasungan untuk bersabar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


“Tidak ada satu pun pemberian yang lebih baik dan lebih lapang daripada sabar.”(HR Muslim no.1053)
Umar ibnul Khaththab radhiyalahu ‘anhu berkata:


“Kami menjumpai kelezatan hidup dengan kesabaran.” (Diriwayatkan Imam Ahmad dalam Kitabuz Zuhd no.612 dengan sanad yang shahih)
Bila kita bicara tentang belajar mencari ilmu agama, kita akan bisa menyaksikan, tak semua orang dapat menempuhnya dengan mudah. Banyak hal yang menghalangi dan merintangi, baik berasal dari sendiri, keluarga, harta atau teman yang ada di sisinya. Karena itu, seseorang yang belajar ilmu agama harus memiliki kesabaran.
Sebagaimana kita ketahui, ilmu tidaklah bisa didapatkan dalam waktu yang singkat, namun butuh waktu yang panjang. Imam Syafi’I rahimahullah pernah berkata:



“Saudaraku, kau takkan memperoleh ilmu, kecuali dengan enam perkara, akan kusebutkan padamu perinciannya dengan penjelasan;
kecerdasan, semangat, kesungguhan, dan perbekalan, bimbingan ustadz serta panjangnya waktu.”
(Waratsatul Anbiya’, hal.53)
Kita lihat, bagaimana kesabaran, semangat dan kesungguhan Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berpindah dari satu majelis ke majelis yang lain, bersegera agar tak luput dari ilmu. Beliau memilih bersabar dan bertekad untuk terus menghabiskan usianya dengan mencari ilmu agama. Diceritakan oleh Muhammad bin Isma’il Ash Shaigh rahimahullah yang menyaksikan Imam Ahmad mengikuti majelis-majelis ilmu, “Ahmad bin Hambal melewati kami di jalan Baghdad, berlari-lari sambil membawa kedua sandalnya di tangan, berpindah dari satu halaqah (majelis ilmu) menuju halaqah yang lainnya. Melihat itu, ayahku berdiri lalu memegang baju Ahmad bin Hambal seraya bertanya, “Wahai Abu ‘Abdillah *! Sampai kapan kamu mau mencari ilmu?” Imam Ahmad menjawab, “Sampai mati.” (Waratsatul Anbiya’, hal 73)
Begitulah semestinya. Bahkan seseorang harus tetap bersabar melewati umur demi umurnya untuk mencari ilmu agama. Demikian yang kita lihat dari perjalanan hidup para ulama. Mereka rela meninggalkan tanah airnya untuk menuntut ilmu ke negeri lain pada saat umur masih muda dan baru kembali ketika umur mereka telah cukup tua.
Di antara kisah kesabaran mereka, ada kisah Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ishaq Ibnu Mandah rahimahullah. Pada umur 20 tahun, beliau meninggalkan negerinya untuk mencari ilmu. Puluhan tahun beliau habiskan untuk mempelajari ilmu agama. Saat beliau kembali, umurnya telah mencapai 65 tahun. Selama 45 tahun itu, beliau belajar dari 1700 syaikh (guru). Setelah itu, barulah beliau menikah. Dari pernikahan itu,Allah memberikan rezeki pada beliau beberapa orang anak. Beliaupun menyampaikan hadits dan mengajarkan ilmu yang telah beliau dapatkan selama menuntut ilmu, kepada manusia.(Warasatul Anbiya’,hal.52)
Di samping itu, orang yang belajar agama harus tetap bersabar walau dalam keadaan tidak memiliki harta dan sering mendapati rasa lapar. Salah satu teladan kita dalam hal ini adalah Imam Syafi’I rahimahullah. Beliau menceritakan sendiri, “Aku adalah seorang yatim yang di asuh sendiri oleh ibuku. Suatu ketika ibuku menyerahkanku ke kuttab*, namun dia tidak memiliki sesuatu apapun yang bisa dia berikan kepada pengajarku. Ketika aku telah mengkhatamkan Al Quran, aku mulai masuk masjid. Di sana aku duduk di hadapan para ulama. Bila aku mendengar suatu permasalahan atau hadits yang di sampaikan, maka akupun menghafalnya. Aku tak bisa menulisnya, karena ibuku tak memiliki harta yang bisa dia berikan padaku untuk kubelikan kertas. Aku pun biasa mencari tulang belulang, tembikar, tulang punuk unta, atau pelepah pohon korma, lalu kutulis hadits di situ. Bila telah penuh, kusimpan dalam tempayan/guci yang ada di rumah kami. Karena banyaknya tempayan terkumpul, ibuku berkata “Tempayan-tempayan ini membuat sempit rumah kita.” Maka kuambil tempayan-tempayan itu dan kuhapalkan apa yang tertulis didalamnya, lalu aku membuangnya, sampai kemudian Allah memberiku kemudahan untuk berangkat menuntut ilmu ke negeri Yaman.” (Waratsatul Anbiya’, hal.36)
Imam Abu Hatim Ar Razi rahimahullah juga menceritakan pengalamannya, “Aku pernah tinggal di Bashrah selama 8 bulan untuk menuntut ilmu. Di sana aku kehabisan bekal. Maka mulailah kujual satu persatu pakaianku, hingga betul-betul tak ada bekal lagi. Bersama temanku, aku berkeliling dari satu syaikh (guru) ke syaikh yang lain untuk mendengarkan hadits. Bila tiba sore hari, aku kembali ke tempat tinggalku yang kosong tak ada apa-apanya, lalu minum air untuk menutupi rasa lapar. Pagi harinya, temanku datang lagi mengajakku berkeliling kembali ke hadapan para syaikh. Padahal sebetulnya aku sangat lapar, yang hanya Allah-lah yang mengetahui betapa laparnya aku. Keesokan harinya, temanku kembali mengajakku berangkat. “Keadaan lemah sekali, sepertinya tak memungkinkanku untuk berangkat, “ kataku padanya. “Ada apa denganmu?” tanyanya. Kukatakan padanya. “Sudah dua hari ini aku tidak makan sedikitpun.” Mendengar penuturanku, dia pun memberiku setengah dinar untuk ku belikan makanan. (Waratsatul Anbiya’,hal 82)
Hendaknya seorang yang belajar agama bersabar untuk menjauhi kemaksiatan itu. Jangan sampai kemaksiatan menjadi penghalang baginya untuk memperoleh ilmu.
Imam Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan, “Aku pernah mengadu pada imam Waki’ (guru imam Syafi’i) tentang jeleknya hapalanku. Beliaupun membimbingku agar menjauhi maksiat. Beliau mengatakan kepadaku, “Ketahuilah, ilmu itu adalah keutamaan dari Allah, dan keutamaan dari Allah tidak akan di berikan pada orang yang bermaksiat.” (Waratsatul Anbiya’, hal.103)
Yang harus diperhatikan pula, seseorang yang belajar harus bersabar dalam menghapal dan mempelajarinya. Alangkah lebih baik baginya menghapal dan mempelajari sesuatu yang sedikit namun berlangsung teratur dan terus-menerus. Yang seperti ini akan lebih kokoh tertanam, sebagaimana dalam ungkapan : “Barangsiapa mencari ilmu dalam jumlah banyak sekaligus, maka ilmunya akan mudah hilang dalam waktu cepat.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda :


“Wahai manusia, lakukanlah amalan apa pun yang mampu kalian lakukan, karena Allah tidaklah jemu sampai kalian sendiri merasa jemu, dan amalan yang di sukai oleh Allah adalah yang dikerjakan terus menerus meskipun sedikit.” (HR Bukhari no.5861 dan Muslim no. 782)
Demikianlah, kesabaran harus terus mengiringi perjalanan hidup seorang penuntut ilmu. Hal ini nantinya akan turut menentukan, berhasil atau tidaknya dia dalam menuntut ilmu. Wallahu ta’ala a’lamu bish shawab.
Diterbitkan oleh Ma’had Al Furqon. Jalan Lawu Kroya, Cilacap 53282