Jumat, 08 Oktober 2010

Perlu Kesabaran

ﺴﻠﺴﻟﺔ ﺍﻫﺪﻯ ﻮ ﺍﻟﻧﻮﺮ


ﺒﺴﻡﺍﷲﺍﻠﺮﺤﻤﻦﺍﻠﺭﺤﯿﻡ


Sabar, sebuah sifat yang sangat terpuji dan mulia. Sifat yang akan melahirkan sifat mulia lainnya, seperti keberanian untuk melawan tantangan hawa nafsu dalam menjalankan titah-titah Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, serta serta meninggalkan segala hal yang dilarang-Nya. Selain itu, sabar juga melahirkan keridhaan yang tinggi dalam menerima segala yang diputuskan dan ditentukan oleh Allah subhanahu wata’ala pada dirinya . Oleh karena karena itu, jelas bahwa sabar adalah sifat yang dicintai dan diridhai Allah subhanahu wata‘ala.
Menurut bahasa, sabar berarti menahan. Menurut istilah syariat, sabar adalah menahan diri terhadap tiga perkara, pertama : menahan diri untuk tetap taat kepada Allah, kedua : menahan diri dari segala keharaman, ketiga : menahan diri dalam menghadapi ketentuan Allah subhanahu wata’ala yang tidak disukai.
Sabar dalam ketaatan kepada Allah adalah dengan cara menahan diri untuk tetap taat kepada-Nya, karena ketaatan bagi seseorang adalah sesuatu yang amat berat. Akan terasa susah baginya untuk melakukannya. Terkadang rasa berat itu datang dari sisi fisik, mungkin karena lemah dan capai. Terkadang pula rasa berat itu muncul dari sisi harta, seperti menunaikan zakat dan haji.”(Syarah Riyadhus Shalihin, 1/84)
Orang yang sabar akan mendapatkan keberhasilan, sebagaimana keberhasilan yang dicapai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para Ulul ‘Azmi lainnya. Allah subhanahu wata’ala berfirman:



“Maka bersabarlah kamu sebagaimana bersabarnya orang-orang yang memiliki keteguhan dari kalangan para rasul.” (QS Al A’raf : 35)

Tak hanya itu, dia pun akan mendapat balasan yang jauh lebih baik daripada amalan yang telah ia lakukan, sebagaimana Allah janjikan :



“Dan benar-benar Kami akan memberikan balasan pada orang-orang yang bersabar dengan balasan yang lebih baik daripada apa yang telah mereka lakukan.” (QS An Nahl : 96)
Selain dari Kitabullah, dalam sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terdapat pula hasungan untuk bersabar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


“Tidak ada satu pun pemberian yang lebih baik dan lebih lapang daripada sabar.”(HR Muslim no.1053)
Umar ibnul Khaththab radhiyalahu ‘anhu berkata:


“Kami menjumpai kelezatan hidup dengan kesabaran.” (Diriwayatkan Imam Ahmad dalam Kitabuz Zuhd no.612 dengan sanad yang shahih)
Bila kita bicara tentang belajar mencari ilmu agama, kita akan bisa menyaksikan, tak semua orang dapat menempuhnya dengan mudah. Banyak hal yang menghalangi dan merintangi, baik berasal dari sendiri, keluarga, harta atau teman yang ada di sisinya. Karena itu, seseorang yang belajar ilmu agama harus memiliki kesabaran.
Sebagaimana kita ketahui, ilmu tidaklah bisa didapatkan dalam waktu yang singkat, namun butuh waktu yang panjang. Imam Syafi’I rahimahullah pernah berkata:



“Saudaraku, kau takkan memperoleh ilmu, kecuali dengan enam perkara, akan kusebutkan padamu perinciannya dengan penjelasan;
kecerdasan, semangat, kesungguhan, dan perbekalan, bimbingan ustadz serta panjangnya waktu.”
(Waratsatul Anbiya’, hal.53)
Kita lihat, bagaimana kesabaran, semangat dan kesungguhan Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berpindah dari satu majelis ke majelis yang lain, bersegera agar tak luput dari ilmu. Beliau memilih bersabar dan bertekad untuk terus menghabiskan usianya dengan mencari ilmu agama. Diceritakan oleh Muhammad bin Isma’il Ash Shaigh rahimahullah yang menyaksikan Imam Ahmad mengikuti majelis-majelis ilmu, “Ahmad bin Hambal melewati kami di jalan Baghdad, berlari-lari sambil membawa kedua sandalnya di tangan, berpindah dari satu halaqah (majelis ilmu) menuju halaqah yang lainnya. Melihat itu, ayahku berdiri lalu memegang baju Ahmad bin Hambal seraya bertanya, “Wahai Abu ‘Abdillah *! Sampai kapan kamu mau mencari ilmu?” Imam Ahmad menjawab, “Sampai mati.” (Waratsatul Anbiya’, hal 73)
Begitulah semestinya. Bahkan seseorang harus tetap bersabar melewati umur demi umurnya untuk mencari ilmu agama. Demikian yang kita lihat dari perjalanan hidup para ulama. Mereka rela meninggalkan tanah airnya untuk menuntut ilmu ke negeri lain pada saat umur masih muda dan baru kembali ketika umur mereka telah cukup tua.
Di antara kisah kesabaran mereka, ada kisah Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ishaq Ibnu Mandah rahimahullah. Pada umur 20 tahun, beliau meninggalkan negerinya untuk mencari ilmu. Puluhan tahun beliau habiskan untuk mempelajari ilmu agama. Saat beliau kembali, umurnya telah mencapai 65 tahun. Selama 45 tahun itu, beliau belajar dari 1700 syaikh (guru). Setelah itu, barulah beliau menikah. Dari pernikahan itu,Allah memberikan rezeki pada beliau beberapa orang anak. Beliaupun menyampaikan hadits dan mengajarkan ilmu yang telah beliau dapatkan selama menuntut ilmu, kepada manusia.(Warasatul Anbiya’,hal.52)
Di samping itu, orang yang belajar agama harus tetap bersabar walau dalam keadaan tidak memiliki harta dan sering mendapati rasa lapar. Salah satu teladan kita dalam hal ini adalah Imam Syafi’I rahimahullah. Beliau menceritakan sendiri, “Aku adalah seorang yatim yang di asuh sendiri oleh ibuku. Suatu ketika ibuku menyerahkanku ke kuttab*, namun dia tidak memiliki sesuatu apapun yang bisa dia berikan kepada pengajarku. Ketika aku telah mengkhatamkan Al Quran, aku mulai masuk masjid. Di sana aku duduk di hadapan para ulama. Bila aku mendengar suatu permasalahan atau hadits yang di sampaikan, maka akupun menghafalnya. Aku tak bisa menulisnya, karena ibuku tak memiliki harta yang bisa dia berikan padaku untuk kubelikan kertas. Aku pun biasa mencari tulang belulang, tembikar, tulang punuk unta, atau pelepah pohon korma, lalu kutulis hadits di situ. Bila telah penuh, kusimpan dalam tempayan/guci yang ada di rumah kami. Karena banyaknya tempayan terkumpul, ibuku berkata “Tempayan-tempayan ini membuat sempit rumah kita.” Maka kuambil tempayan-tempayan itu dan kuhapalkan apa yang tertulis didalamnya, lalu aku membuangnya, sampai kemudian Allah memberiku kemudahan untuk berangkat menuntut ilmu ke negeri Yaman.” (Waratsatul Anbiya’, hal.36)
Imam Abu Hatim Ar Razi rahimahullah juga menceritakan pengalamannya, “Aku pernah tinggal di Bashrah selama 8 bulan untuk menuntut ilmu. Di sana aku kehabisan bekal. Maka mulailah kujual satu persatu pakaianku, hingga betul-betul tak ada bekal lagi. Bersama temanku, aku berkeliling dari satu syaikh (guru) ke syaikh yang lain untuk mendengarkan hadits. Bila tiba sore hari, aku kembali ke tempat tinggalku yang kosong tak ada apa-apanya, lalu minum air untuk menutupi rasa lapar. Pagi harinya, temanku datang lagi mengajakku berkeliling kembali ke hadapan para syaikh. Padahal sebetulnya aku sangat lapar, yang hanya Allah-lah yang mengetahui betapa laparnya aku. Keesokan harinya, temanku kembali mengajakku berangkat. “Keadaan lemah sekali, sepertinya tak memungkinkanku untuk berangkat, “ kataku padanya. “Ada apa denganmu?” tanyanya. Kukatakan padanya. “Sudah dua hari ini aku tidak makan sedikitpun.” Mendengar penuturanku, dia pun memberiku setengah dinar untuk ku belikan makanan. (Waratsatul Anbiya’,hal 82)
Hendaknya seorang yang belajar agama bersabar untuk menjauhi kemaksiatan itu. Jangan sampai kemaksiatan menjadi penghalang baginya untuk memperoleh ilmu.
Imam Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan, “Aku pernah mengadu pada imam Waki’ (guru imam Syafi’i) tentang jeleknya hapalanku. Beliaupun membimbingku agar menjauhi maksiat. Beliau mengatakan kepadaku, “Ketahuilah, ilmu itu adalah keutamaan dari Allah, dan keutamaan dari Allah tidak akan di berikan pada orang yang bermaksiat.” (Waratsatul Anbiya’, hal.103)
Yang harus diperhatikan pula, seseorang yang belajar harus bersabar dalam menghapal dan mempelajarinya. Alangkah lebih baik baginya menghapal dan mempelajari sesuatu yang sedikit namun berlangsung teratur dan terus-menerus. Yang seperti ini akan lebih kokoh tertanam, sebagaimana dalam ungkapan : “Barangsiapa mencari ilmu dalam jumlah banyak sekaligus, maka ilmunya akan mudah hilang dalam waktu cepat.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda :


“Wahai manusia, lakukanlah amalan apa pun yang mampu kalian lakukan, karena Allah tidaklah jemu sampai kalian sendiri merasa jemu, dan amalan yang di sukai oleh Allah adalah yang dikerjakan terus menerus meskipun sedikit.” (HR Bukhari no.5861 dan Muslim no. 782)
Demikianlah, kesabaran harus terus mengiringi perjalanan hidup seorang penuntut ilmu. Hal ini nantinya akan turut menentukan, berhasil atau tidaknya dia dalam menuntut ilmu. Wallahu ta’ala a’lamu bish shawab.
Diterbitkan oleh Ma’had Al Furqon. Jalan Lawu Kroya, Cilacap 53282

Tidak ada komentar:

Posting Komentar